Kerajinan gerabah ( Beulangong )
Nestapa Pengrajin Belanga di pidie, Aceh
Aceh terus berbenah. Bersalin rupa dengan bangunan menjulang adalah penanda bergeliatnya pembangunan. Namun ini tidak berlaku bagi para pengrajin beulangong (belanga) di Desa Puuk Aree, Kec.Delima, pidie. Nestapa terasa merongrong pelan-pelan keberlangsungan usaha yang mereka lakoni sejak berpuluh tahun lalu.
Desa puuk sejak dulu dikenal sebagai salah satu daerah pengrajinbeulangong di kabupaten pidie. Desa di kecamatan Delima ini menghasilkan beulangong dengan kualitas baik jika dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Keunggulan ini juga diakui Posiah, “banyak orang yang ambil beulangong di sini, katanya lebih bagus dan kuat. Bisa jadi karena tanah di sini lebih bagus.
Geliat usaha ini semakin menurun. Posiah sadar, usaha turun temurun ini lambat laun akan hilang sebab kurangnya pengrajin dan sulitnya memasarkannya. Bahkan saat ini tercatat, di Desa puuk aree hanya tersisa lima pengrajin beulangong yang semuanya perempuan berusia lanjut. Padahal dulunya, produksibeulangong berkembang pesat di beberapa desa seperti grong-grong, padang tiji, beureunuen, hingga ulee glee. Namun miris, karena memasarkannya sangat sulit karena banyak masyarakat sekarang yang banyak membeli perlengkapan dapur yang pabrikan, dan perubahan lingkungan masyarakat membuat usaha tradisional ini pelan-pelan meredup. Nyatanya hingga kini, hanya Desa puuk aree yang masih bertahan.
“Kami kesulitan memasarkannya sekarang, semuanya berubah. Dulu cara memasarkannya paling gampang, tapi sekarang kami harus keliling kota bahkan sampai ke pelosok desa, yang kami sering kami kunjungi pada hari hari peukan (uroe gantoe),” ujar Posiah.
Hal serupa juga diakui Mak Ti, seorang pengrajin yang saya temui di rumah berbeda. Mak Ti masih memiliki tali persaudaraan dengan posiah. Di rumahnya yang sederhana, Mak Ti melakoni usaha serupa dalam usianya yang mendekati 80 tahun.
“Sekarang susah sekali memasarkan beulangong, nggak kayak dulu...” keluhnya.
Mak Ti lalu mengajak saya ke belakang rumahnya. Ia ingin memperlihatkan proses pembakaranbeulangong sekaligus menunjukkan lokasinya. Saya mengikutinya dari belakang, melintasi kandang ayam dan bebek serta melompati parit kecil. Sebuah tanah lapang terbentang dikelilingi rindang pohon kelapa. Beberapa bilah kayu bakar tersusun rapi di sudut-sudut pohon. Di bagian lain, jerami terbungkus rapi di dalam karung. Di tengah tanah lapang inilah Nuriah, Mak Ti dan tiga pengrajin lainnya membakarbeulangong.
Tanah ini seakan menjadi saksi bagaimana semangat sekelompok perempuan berusia lanjut meneruskan usaha tradisionalbeulangong. Pemasaran adalah permasalahan besar bagi para pengrajin ini. Tidak pemasaran berarti tidak ada kelanjutan usaha. Dan posiah yakin, jika ini terus berlangsung, maka usaha ini perlahan akan hilang. Setidaknya tiga desa telah membuktikan itu: Dayah Baro, ulee tutue dan lhee meunasah. yang dulunya dikenal sebagai sentral usaha beulangong dan tembikar kini tidak lagi berproduksi.
Semangat para perempuanbeulangong mempertahankan warisan leluhur Aceh digempur dengan beragam persoalan. Bukan hanya minimnya pelakon yang ingin meneruskan produk lokal ini, tapi juga keterbatasan pemasaran sebagai sumber utama usaha beulangong.Kesulitan memperoleh tanah di tengah modernisasi Aceh menjadi racun tersendiri bagi usaha yang digeluti kaum janda ini. Semangat sekelompok perempuan tua mempertahankan Desa puuk aree sebagai sentral produksi beulangong, seakan tidak diiringi keberpihakan konsumen kepada mereka. Sudah semestinya, Pemerintah mempromosikan barang-barang tradisional yang harus dipertahankan bagi mereka sebagai sumber pendapatan masyarakat..
Komentar
Posting Komentar